Kartini Kristiani

 

Kali ini agak sedikit Kristiani, dan mungkin ada beberapa konten yang nantinya akan saya kupas dengan kacamata Kristiani. 




Saya terpukau dengan dua gambar dari situs dan akun media sosial Naked Pastor milik David Hayward. Penggambaran peran perempuan di tengah dunia yang agaknya maskulin menjadi inti pesan yang ingin diangkat oleh David Hayward. Peran perempuan seakan tertutup oleh maskulinitas penulisan Alkitab, padahal para perempuan adalah juga murid, bahkan pondasi iman percaya tentang Kebangkitan Kristus bagi para murid yang meragu yang juga adalah laki-laki. 


Kartini menjadi ikon kesetaraan gender bagi masyarakat Indonesia. Namun, tidak sedikit permasalahan yang lahir karena masih adanya pembedaan seksual atau mungkin belakangan disebut seksis. Harapan yang dibawa dari kisah Kartini bukan hanya kesetaraan dalam harkat dan pendidikan, melainkan dalam segala hal, apalagi dalam memuji dan memuliakan Tuhan. 


Mengapa saya bedah ini? Karena apabila kita membandingkan 'seksisme' dalam sejarah Kristus dan penulisan Alkitab, 'seksisme' masih terjadi dalam kehidupan pelayanan di gereja. Salah satu Sinode gereja secara sinodal menolak perempuan sebagai pelayan gereja. Bahkan sempat terjadi penolakan terhadap mahasiswi yang ingin magang pelayanan. Jika kita mengacu kepada semangat Kartini, jelas ini salah. Bahkan jika kita mengacu pada zaman Kristus, Yesus Kristus pun memiliki murid-murid perempuan. 


Namun, bagaimana dalam pelayanan? Saya berusaha untuk memaknai dari dua sisi. Ini masih asumsi yang saya buat, belum saya teliti lebih dalam. Sisi pertama, saya setuju bahwa pelayanan, penginjilan, dan persekutuan adalah tugas panggilan Gereja yang harus dilaksanakan semua Gereja. Ingat! Gereja bukan hanya gedungnya. Jadi, dari sisi ini, saya setuju bahwa perempuan harus punya tempat dalam pelayanan gereja. 


Di sisi lain, saya melihat dari kacamata jabatan pelayan yang dijelaskan Paulus dan bagaimana Paulus memperlakukan dengan adil dan memprioritaskan janda, orang miskin, dan anak-anak. Lagi-lagi ini asumsi saya. Jangan-jangan mereka yang menolak perempuan sebagai pelayan, berusaha untuk melayani perempuan dan anak-anak dengan baik. Jika itu alasannya, kita tidak bisa menyebutkan bahwa pelayanan di sinode tersebut adalah pelayanan yang sifatnya maskulin, melainkan sangat menghargai perempuan. 


Lagi-lagi ini hanya asumsi pribadi saya dan bagaimana saya menyikapi semangat Kartini... 


Mari berdiskusi tentang ini di kolom komentar... 

Salam


Komentar

  1. Pelayan perempuan bahkan jarang di notice jika berkembang dalam memajukan pelayanan. Saya pribadi juga mengalami hal demikian, ujung2 pelayanan saya terbatas untuk melayani tamu pendeta (buat teh, nuci piring, dll). Miris sekali rasanya, diperlakukan demikian....

    So times, mikir apakah pelayanan yg katanya mulai dari nol. Harus melakukan itu semua, bukan ilmu teologi yg kita pelajarin selama 4 tahun diakhiri dengan ending tragis demikian.

    Ini kisah patriarki yg sulit dilepaskan, terlebih masih ada anggapan bahwa, lakilaki lah yg pantas jadi pendeta!! padahal sekolah2 teologi sudah berusaha mengumandangkan teologi feminisme. Sayangnya, itu hanya sekadar teoriiii๐Ÿ˜†

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mari kita doakan semoga pelayanan kepada Sang Ilahi menjadi merata, karena sepertinya harus menunggu Roh Kudus yang bekerja.

      Atau mari kita berpikir bahwa perempuan justru bukan pelayan, melainkan yang dilayani setelah Kristus.

      ๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†

      Hapus

Posting Komentar