Tafsir iseng Mazmur 113
Mazmur 113
Mazmur 111-118 dikenal sebagai bagian kelima dari kitab Mazmur dan sering disebut Mazmur Haleluya. Namun, khusus mazmur 113-118, banyak yang menafsir bahwa Mazmur ini adalah The Psalm of Egyptian Hallel atau Mazmur Haleluya Mesir. Mengapa demikian? Mazmur ini diyakini merupakan bagian dari ibadah/ceremony memperingati Paskah/Passover pada sebelum Tulah ke-10.
Kumpulan Mazmur ini terbagi dua, yaitu yang dinyanyikan sebelum makan Paskah (Mazmur 113-114) dan setelah makan Paskah (115-118). Salah satu penggunaan Mazmur ini bisa kita ketika Yesus selesai makan Paskah (Matius 26: 30). Yesus pun menyanyikan pujian setelah Ia makan Paskah.
Dari strukturnya, Mazmur 113 terbagi menjadi dua stanza dengan ayat 5 sebagai pemisahnya. Stanza pertama (ayat 1-4) merupakan Mazmur berisi pujian kepada Tuhan serta ajakan memuji nama Tuhan. Sedangkan stanza kedua (ayat 6-9) menjadi alasan-alasan luar biasa mengapa kita harus memuji Tuhan.
Ayat 1
Kata Haleluya menjadi penanda yang jelas bahwa Mazmur ini adalah Mazmur Haleluya. Lalu bagaimana dengan Mazmur Haleluya yg lain yg tidak menggunakan kata Haleluya di awal? Kata Haleluya biasanya mengawali pujian. Jika itu bukan pujian, melainkan alasan untuk memuji Tuhan, kata Haleluya tidak digunakan untuk mengawali pasal tersebut.
Lalu, mengapa menggunakan kata 'hamba-hamna Tuhan'? Ini adalah sebuah penekanan bahwa orang biasa yang kenal kehebatan Tuhan saja akan berdecak kagum dan memberikan pujian atas kebesaran-Nya, apalagi kita yang adalah hamba yang seharusnya memiliki tingkat ketaatan sempurna, seharusnya lebih lagi memuji Tuhan. Tafsir lain mengatakan bahwa penggunaan kata tersebut adalah sebuah pengingat bahwa bangsa Israel bukan lagi budak bangsa Mesir, melainkan bangsa pilihan yang menjadi hamba Tuhan.
Lalu hal unik di ayat 1 yang juga tertulis di ayat 2 dan 3 adalah tentang memuji nama TUHAN. Mengapa nama? Jawabanya adalah dengan menjawab sebuah pertanyaan. Apa yang kita tahu tentang TUHAN? Kita bisa menyanjung seseorang, memberi hadiah atas kebaikannya, menepuk ringan bahunya sambil mengagumi kinerjanya. Lalu, apa yang kita tahu tentang TUHAN? Kita hanya tahu nama dan kebaikannya saja. Musalah yang tahu nama YHWH atau yang di dalam Alkitab tertulis menggunakan kata Tuhan dengan huruf capslock, seperti ini TUHAN. Kita hanya mengetahui nama, sehingga kita hanya bisa memuji namanya.
Alasan lain adalah nama TUHAN menjadi sakral, bahkan tak bisa kita ucapkan dengan benar. YHWH adalah penulisan asli yang kita bisa transliterasi dari bahasa Yahudi. Namun, bagaimana kita melafalkan YHWH? Pastinya kita lafalkan per hurufnya, Ye-Ha-We-Ha. Karena sesakral itu nama TUHAN, kita tidak mampu mengucapkannya secara benar. Agar lebih memudahkan, akhirnya manusia menambahkan vokal, yaitu Yahweh, Yehuwah, Jehovah, Jahowa (dalam bahasa Batak), dan TUHAN (dalam Alkitab berbahasa Indonesia). Kesakralan nama TUHAN pun diatur dalam Dasa Titah. Jadi, nama-Nya saja sudah sakral apa lagi Diri-Nya.
Ayat2
Nama TUHAN dipuji sekarang dan selama-lamanya. Kehadiran dan kuasa TUHAN tidak terikat batasan waktu. TUHAN hadir dulu, sekarang, dan selama-lamanya. Namun, mengapa pujian kepada TUHAN baru hadir sekarang dan selamanya. Apakah pada masa lampau, TUHAN tidak dipuji? Jawabannya tidak. Mengapa demikian? Manusia barulah memuji sesuatu jika ada pencapaian yg telah dilakukan. Pujian jadi penghargaan setelah mencapai atau memberi atau melakukan sesuatu. Oleh karena itu, manusia yang terikat dengan waktu tidak bisa memuji di masa lampau tanpa sebab musabab yg jelas. Maka dari itu, pujian lahir dari waktu kini dan waktu yg akan datang atas pencapaian di masa lalu.
Ayat 3
Pujian dilakukan dari matahari terbit sampai terbenam. Artinya, sepanjang waktu itu, pujian harus dilantunkan secara berulang dan tak berhenti. Jarak matahari terbit dan terbenam selama 12 jam. Artinya 12 jam atau setengah dari hari kita seharusnya berisi pujian kepada TUHAN. Lalu, apakah pada malam hari kita tidak memuji TUHAN? TUHAN memang pemilik kita. Kita tidak punya hak atas diri kita, TUHAN-lah yg berhak. Namun, TUHAN tidak seegois itu untuk mengambil semuanya. Manusia diberi waktu untuk dirinya sendiri beristirahat dan menjadi dirinya. Akan tetapi, tidak ada larangan juga untuk manusia bisa memuji TUHAN di malam hari. Intinya adalah penekanan bahwa waktu yg kita berikan untuk memuji TUHAN, bukanlah waktu yang kita sisihkan dan persembahkan dengan baik, bukan waktu-waktu sisa yg kita miliki.
Ayat 4
TUHAN mengatasi segala bangsa, artinya bukan hanya mengatasi/melampaui bangsa Mesir, sehingga bangsa Israel bisa semena-mena dan seenaknya terhadap TUHAN. Atau hanya mengatasi bangsa Mesir dan Israel saja, sehingga akan muncul ketakutan bangsa Israel saat TUHAN diserang ilah bangsa lain. Bangsa manapun tidak bisa mengatasi kuasa TUHAN.
Bahkan dikatakan bahwa TUHAN mengatasi langit. Manusia saat itu tidak bisa sampai ke langit. Manusia yg bisa terbang (mis. Elia) dianggap sebagai manusia yg melebihi manusia lain. Mungkin bisa dikatakan Demi-God atau manusia setengah dewa. Lalu, ada apa dengan langit? Pada masa itu, langit dianggap sebagai lokasi Kerajaan Sorga. Bahkan jika kita melihat ayat ini versi KJV, kata langit bukan ditulis menggunakan kata sky, melainkan kata heaven. Jadi, ayat ini berusaha mengangkat bahwa kemuliaan TUHAN melampaui Sorga.
Ayat 5 dan 6
Ayat-ayat ini adalah pertanyaan untuk memisahkan stanza pertama dan kedua. Namun, ayat ini seakan sengaja dipisah. Ayat 5 masih berbicara tentang TUHAN di tempat tinggi. Sedangkan ayat 6 sudah mulai berbicara tentang apa yang TUHAN lakukan. Ayat 6 berisikan tentang bagaimana TUHAN merendahkan dirinya untuk memandang kita, manusia hina yang kadang suka membuat onar bahkan merusak ciptaan lainnya.
Ayat 7 dan 8
Menegakkan yang hina dalam debu. Berkubang dalam debu menjadi cara masyarakat pada masa itu untuk menunjukkan dirinya bersalah dan ingin bertobat. Kita bisa lihat bagaimana Daud memohon ampun atas kesalahannya dan agar anak yg dikandung Batsyeba tidak mati (2 Samuel 12: 16). Begitu juga dengan bangsa Niniwe saat Yunus membawa berita kehancuran bagi mereka (Yunus 3: 6).
Orang miskin dianggap sebagai masyarakat kelas bawah yang tidak cukup layak duduk bersama dengan orang yang bahkan kelas menengah. Namun, TUHAN meninggikan mereka, bahkan mendudukkan mereka sejajar bukan hanya dengan kelas menengah, melainkan juga kelas bangsawan.
Jika kita teliti kembali, bagian ini juga dilantunkan dalam pujian Hana setelah mendapatkan Samuel (1 Samuel 2: 8). Ia yang dianggap sebagai perempuan hina karena kemandulannya menjadi terangkat derajatnya dan setara dengan Penina, istri lain dari Elkana.
Ayat 9
Menjadi seorang ibu dari anak-anak yang ia kandung adalah sebuah berkat bagi para perempuan Israel di zaman itu. Kemandulan dianggap sebagai kutukan bagi bangsa Israel dan perempuan mandul akan mendapat banyak penghinaan. Kita bisa melihat bagaimana Sarah merasa terhina dan disaingi oleh Hagar, persaingan Lea dan Rahel dalam memberi keturunan bagi Yakub, Hana yang dihina oleh Penina karena kemandulannya, dan Elizabeth sebelum mendapat kabar sukacita. Mereka semua merasa menjadi perempuan yang paling hina karena kemandulan mereka. Namun, akhirnya kita bisa melihat bagaimana perempuan di masa itu bersukacita karena harkatnya terangkat melalui kelahiran anak-anak mereka.
Sukacita itulah yang harusnya muncul dalam pujian kita kepada Tuhan karena kebesaran dan kuasa-Nya yang sanggup menaikkan harkat dan martabat kita.
~ D. A ~
Komentar
Posting Komentar