Mukjizat - Konspirasi dan Kontemplasi
Mukjizat
Sebuah Konspirasi Atau Kontemplasi
Lukas 17: 11-19 adalah satu dari sekian banyak kisah mukjizat yang menunjukkan kebesaran Allah. Ada banyak hal unik dari Khotbah Minggu (09/10). Penulis Injil Lukas selalu berusaha mengangkat kisah mereka yang terasing dari bangsa Yahudi. Dan kusta menjadi salah satu aib, penyakit yang dianggap sebagai tulah atau hukuman akibat kesalahannya di masa lalu, atau kesalahan pendahulunya. Begitulah yang diyakini bangsa Yahudi karena ada tertulis bahwa Allah akan membalaskan kejahatan pada anak-anaknya, keturunan yang ketiga dan keempat (Keluaran 20: 5b). Akhirnya, untuk beberapa orang sampai sekarang masih memegang pemahaman tersebut, dan menganggap bahwa penyakit, kekurangan, kecacatan, dan disabilitas adalah sebuah disabilitas.
Bagaimana Gereja memahami dan meyakininya? Gereja meyakini bahwa penyakit, kekurangan, disabilitas, kesedihan, dan penderitaan bukanlah hukuman (walaupun akhirnya saya berasumsi bahwa belum tentu hukuman, tetapi masih ada kemungkinan bahwa itu adalah hukuman, tergantung bagaimana menanggapinya). Secara sinodal, banyak Gereja pun menuangkannya dalam dokumen gereja masing-masing bahwa hal tersebut bukan hukuman. Namun, logika pikir saya sebagai manusia masih berpegang pada hukum sebab akibat, misalnya saya sakit maag karena kesalahan saya yang terlambat makan. Kita pun sering mendengar istilah salah didik, kesalahan orangtua mendidik atau bersikap membentuk karakter yang salah pada anak. Akan tetapi, mari kita untuk sementara setuju dengan pilihan mayoritas karena pemahaman bahwa penyakit dan sebagainya bukanlah hukuman Tuhan memiliki dasar Alkitabiah, yaitu Yohanes 9.
Kisah di Yohanes 9 sendiri memiliki hal unik yang membuat saya bertanya kembali, terutama jika berfokus pada ayat 2-5. Kalau kita mengacu ke Yohanes 9 ini, bukankah membuat kita berpikir seakan sakit penyakit ada agar kuasa Allah diperlihatkan? Kalau gitu, bukankah Tuhan agak sedikit berdrama? Saya pun mencoba bertanya kepada beberapa orang yang sudah mengkhotbahkan Lukas 17 dan khotbah tentang mukjizat penyembuhan lainnya. Dan saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan saya. Awalnya saya mendapat jawaban bahwa Tuhan tidak merencanakan rancangan kecelakaan melainkan damai sejahtera (mengacu pada Yeremia 29: 11). Namun, pernyataan ini menjadi paradoks dengan yang tertulis dalam Yohanes 9: 3 bahwa penyakit, kekurangan, disabilitas, dan lainnya (dalam hal ini kebutaannya) bukanlah kesalahan manusia atau para pendahulu mereka, melainkan sebuah cara agar pekerjaan Allah dinyatakan melalui dia. Muncul beberapa pertanyaan. Apakah Allah merencanakan kebutaan pada ciptaan-Nya supaya pekerjaan Allah tampak keren? Atau apakah si Buta harus bersyukur atas kebutaannya karena melalui itu, pekerjaan Allah terlaksana? Akhirnya kembali ke pertanyaan mendasar, darimanakah sakit penyakit, penderitaan, dan lainnya itu berasal? Hasil dari perbuatan manusia kah? Tuhan yang merancang kah? Atau kita akan menyalahkan pihak ketiga, si Penggoda dan Pemberi Cobaan? Jika jawabannya adalah manusia, artinya Yeremia 29:11 benar adanya dan Yohanes 9: 3 menjadi gugur. Jika jawabannya adalah semua hal menjadi rencana Tuhan, artinya Yohanes 9: 3 adalah sebuah kebenaran yang bisa diyakini dengan baik, sedangkan penafsiran Yeremia 29: 11 mesti ditinjau ulang. Namun, jika jawabannya adalah Sang Iblis, maka Yeremia 29: 11 mungkin bisa benar tergantung bagaimana penafsiran Yohanes 9: 3. Jika hal tersebut muncul dari Sang Iblis, artinya mengacu pada Yohanes 9: 3, Tuhan merencanakan konspirasi besar terhadap ciptaan-Nya yang melibatkan Iblis sebagai Sang Pembuat Penyakit, Kesedihan, dan lainnya.
Sampai pada titik ini, kemungkinan besar saya dianggap bidat dan sesat oleh Gereja. Namun, saya sedang berusaha memahami apa yang Allah inginkan dalam diri kita manusia. Dan setelah pertanyaan-pertanyaan itu terlontar, saya diarahkan kepada jawaban bahwa kita sebagai ciptaan tidak mampu menilai apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bahkan beberapa di antaranya memberikan saya beberapa referensi ayat, yaitu Amsal 3: 5; Yeremia 17: 5; dan beberapa referensi ayat lain yang lupa saya catat.
Muncul lagi pertanyaan tentang ini semua. Apakah saya tidak boleh mempertanyakan maksud Allah? Apakah saya tidak boleh merenungkan Firman Tuhan? Bahkan berdasarkan Mazmur 1: 1-3 yang dikidungkan dalam nyanyian rohani Berbahagialah yang dinyanyikan oleh Herlin Pirena, kita diajak merenungkan Firman Allah siang dan malam. Lukas 11: 28 pun meminta kita memelihara Firman Allah melalui perenungan, penelaahan, dan tingkah laku (tafsiran pribadi). Dalam Yeremia 9: 24 pun, orang yang bisa bermegah adalah mereka yang mengenal bahwa TUHAN adalah Allah. Dan saya sedang melakukan proses ini.
Dan jika saya tidak menggunakan pengertian saya sebagai manusia, bagaimana cara saya mengenal dan memahami Allah? Maksud saya begini, kita adalah ciptaan yang tidak akan mampu memahami kehendak Pencipta dari sudut pandang-Nya. Pahami ini perlahan. Kita adalah ciptaan. Kita tidak bisa memahami kehendak Allah dari sudut pandang Allah karena kita bukan Allah, kita hanya manusia. Akan tetapi, bagaimana dengan Roh Kudus? Allah mencurahkan Roh Kudus untuk membantu kita memahami Allah dan kehendak-Nya. Akan tetapi, siapa yang ditargetkan untuk memahami? Ciptaan, kita manusia. Roh Kudus berusaha membuat kita paham siapa itu Allah dan apa kehendak-Nya berdasarkan sudut pandang Allah, tetapi bisa dipahami manusia. Inilah konsep Bahasa Roh menurut saya pribadi. Artinya, yang harus paham tentang Allah bukan Roh Kudus yang ada dalam diri kita, melainkan kemanusiaan kitalah yang akhirnya mengenal dan memahami Allah dengan bantuan Roh Kudus tadi.
Kita kembali ke Lukas 17: 11-19 dan Yohanes 9 tadi. Kusta dan kebutaan adalah aib yang kalau pun mendapatkan mukjizat kesembuhan, mereka harus melapor terlebih dahulu kepada para imam agar mereka bisa diterima kembali ke dalam masyarakat. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harus disembuhkan. Apa tujuan Tuhan Yesus menyembuhkan mereka? Setelah digali, saya menemukan beberapa tafsiran bahwa kesembuhan fisik diberikan Tuhan Yesus agar mereka bisa diterima kembali ke dalam masyarakat. Mengapa disembuhkan? Dalam hal ini, seharusnya bukan mereka yang kusta dan buta yang disembuhkan, melainkan pemahaman masyarakat yang harus diperbaiki dan disembuhkan agar masyarakat bisa menerima mereka dengan baik. Jika mereka diterima dengan baik, mereka akan lebih cepat berdamai dengan penyakit dan kebutaan mereka. Oleh karena kesembuhan fisik yang dilakukan Tuhan Yesus, kita di zaman sekarang menjadi berharap tinggi atas mukjizat kesembuhan. Kita mengusahakan kesembuhan melalui berbagai macam pengobatan, baik medis maupun alternatif, yang mungkin menyakitkan dan melelahkan bagi penyandang tersebut (saya tidak menemukan pengganti kata 'penyandang' yang cukup ramah dibaca). Berdamai bukan berarti menyerah, tidak berpengharapan, atau mematikan iman percaya kita. Berdamai artinya berpasrah pada Allah dan kehendak-Nya tanpa perlu menempatkan angan yang mungkin tak bisa kita gapai. Berdamai dan berpasrah pada Allah artinya memilih menjadi seorang yang realistis, tidak berhenti mencoba, tapi tidak menggantungkan mimpi terlalu tinggi. Sehingga saat kita memang dikendaki Tuhan untuk tetap seperti itu, kita percaya bahwa Tuhan pun memberi berkat dan akan memudahkan jalan hidup kita. Kita tidak lagi terjebak dalam mimpi yang terlalu tinggi dan rasa kesal kita kepada Tuhan karena tidak mendapatkan kesembuhan fisik. Bagi saya, berdamai dan berpasrah pada Allah itu adalah kesembuhan mental. Mengapa saya menggunakan kata berpasrah dibanding kata berserah? Bagi saya, posisi berserah adalah pilihan yang bisa diambil manusia. Kita seakan diperhadapkan pada pilihan bahwa kita bisa berserah atau tidak berserah. Sedangkan menurut saya, di hadapan Tuhan, kita tidak punya pilihan selain mengandalkan Tuhan. Kita tidak punya opsi kedua selain pasrah pada Allah, seperti Ayub yang pasrah pada Allah (mari kita kupas lain waktu). Ya, walaupun pada akhirnya berserah itu ya berpasrah. Silakan cek di KBBI.
Saya tidak bisa menarik kesimpulan atas tulisan saya kali ini. Bahkan saat saya menarik hipotesis saja, sepertinya akan ada sisi yang kurang pas secara dasar teori. Akan tetapi, saya meyakini bahwa Allah itu baik. Apa yang tidak baik adalah yang di luar Allah. Namun, jika saya diperhadapkan dengan isu penyakit, kekurangan, disabilitas, kesedihan, dan penderitaan, saya berharap bisa lebih dahulu berdamai dan menjadi tempat yang damai untuk semua orang baik difabel maupun saya yang temporary-able. Dan akhirnya, saya berharap bahwa jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Sorga, tidak hanya doa yang kita ucapkan demi pemenuhan ritual, tetapi juga menjadi aktual dalam hidup kita di tengah dunia.
~ D . A ~

Komentar
Posting Komentar