Tafsir Iseng dari 2 Timotius 2: 1-13

Panggilan untuk Menderita

Maukah? 

Surat Timotius adalah tanda cinta seorang ayah sekaligus guru kepada anaknya. Meskipun Paulus bukan ayah dari Timotius secara biologis, Timotius diakui sebagai anak oleh Paulus, mentornya dalam penginjilan tentang Kristus. Dan kedua surat ini merupakan pesan mendalam bagaimana Timotius harus bertindak. Rasa sayang Paulus tertumpah melalui surat ini. Meski berjauhan, Paulus merasakan apa yang saat itu dirasakan Timotius, seorang muda yang harus memimpin jemaat yang anggotanya berumur jauh di atasnya. Dalam adat ketimuran, kebanyakan wilayah Asia menghormati orangtua dan setiap perintah serta nasehat mereka merupakan budaya yang sangat dijunjung tinggi, meskipun pesan itu ada yang salah, tidak bisa kita lakukan, atau di luar nalar. Kepatuhan buta terhadap orangtua layaknya kepatuhan buta manusia dengan Tuhan, karena pesan-pesan yang disampaikan dalam didikan keagamaan sering mengaitkan hubungan manusia dan Tuhan dengan hubungan anak dengan orangtua. Namun, akhirnya pesan yang paling sering dipegang oleh kaum muda adalah yang tertulis dalam 1 Timotius 4: 12. Tujuan pesan Paulus kepada Timotius bukanlah untuk membantah atau tidak hormat kepada orangtua melainkan untuk tetap teguh dan berani menjadi teladan di antara orang-orang percaya. Dan itulah kondisi Timotius dalam surat pertamanya.

Dan dalam surat kedua Paulus, kita melihat bahwa tantangan untuk Timotius bukan hanya dari dalam, melainkan juga dari luar. Saya melihat bahwa melalui surat keduanya, Paulus berusaha menguatkan pondasi iman Timotius dari dalam dan membantu dengan memberi masukan bagaiamana mengatasi 'serangan' dari luar. Saya mengira bahwa Paulus mengharapkan keteguhan iman Timotius semakin kuat dan kokoh sehingga Timotius keyakinan tidak hancur jika ada 'serangan' baik dari luar maupun dari dalam.

Mari kita fokus pada perikop ini. Pada ayat 1, sapaan penuh cinta terlontar untuk anaknya untuk membuka pesan utama yang ingin Paulus sampaikan. Inti dari perikop ini sebenarnya hanya pada ayat 1, yaitu permintaan Paulus agar Timotius menjadi kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus. Dan ayat 2-13 merupakan penjelasan yang menopang ayat 1. Jika kita hanya mengandalkan ayat 1, imajinasi kita terlalu luas untuk menjelaskan kondisi Timotius saat itu dalam perikop ini. Timotius harus kuat dalam memperjuangkan banyak hal di atas dirinya, kuat berjuang dengan setia pada aturan yang ada, kuat dalam bekerja keras, kuat dalam kesabaran terhadap penderitaan, serta kuat dalam kesetiaan menanti hadirnya keselamatan. Tidak masalah, jika kita hanya mengandalkan ayat 1 dalam pedoman hidup, karena semua hal terangkum dalam ayat ini. Namun, semakin banyak kita membaca, kita akan tahu tantangan apa yang ada pada masa itu dan dapat membandingkannya dengan masa kini.

Pada ayat 2, Paulus berpesan untuk mencari suksesor yang akan meneruskan pengajaran yang diterima Timotius. Sebelum Timotius diminta tinggal di Efesus, Timotius mengikuti Paulus dalam perjalanan menyebarkan Injil tentang Kristus. Timotius bukan hanya belajar tentang Injil, melainkan juga mendapatkan contoh bagaimana cara menjelaskannya. Dalam bahasa pemasaran, Timotius bukan hanya dikenalkan tentang produk yang akan dipasarkan, melainkan juga bagaimana public speaking yang baik dan meyakinkan. Oleh karena itu, Paulus berharap bahwa suksesor Timotius nantinya adalah juga orang yang mampu.

Namun, hal yang paling utama bagi Paulus adalah tentang kepercayaan. Bagi Paulus, seorang suksesor adalah mereka yang bisa dipercaya. Saya mengira bahwa tujuan pesan ini adalah agar Timotius tidak dikhianati, misalnya suksesor Timotius yang sudah ditunjuk di depan jemaat Efesus ternyata menjadi penyesat bagi jemaat. Hal ini akan merepotkan karena Paulus sering menghadapi orang yang tidak percaya, para penyesat, dan bahkan sesama pengikut Kristus yang berbeda pengajaran. Paulus tidak ingin hal tersebut menimpa muridnya, sehingga dari awal Paulus menekankan tentang kepercayaan.

Kita yang juga memiliki tugas menyebarkan Injil Kristus harus bisa dipercaya dalam menyampaikan apa yang benar. Bagi saya, seorang penginjil tidak perlu malu mengatakan 'tidak tahu', 'belum saya gali lebih dalam', 'saya tidak menemukannya', dan pernyataan ketidakmampuan kita sebagai pemberita. Karena kita masihlah manusia yang punya batasan. Kita memang diminta untuk bertekun dalam Tuhan dan firman-Nya. Namun, ada batasan eksplorasi yang akhirnya membuat kita menafsir secara pribadi saat kita tidak menemukan tafsiran paling umum yang bisa diterima. Sebagai penyebar Injil, kita dipercaya banyak orang bahwa apa yang kita katakan adalah benar karena berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam penyampaian pun mari kita menjelaskan apa yang disampaikan dalam firman Tuhan dan apa yang menjadi pengembangan kita melalui tafsiran. Hal ini pun berhubungan dengan syarat yang kedua, yaitu cakap dalam mengajar.

Terkadang kita menggunakan podium di depan banyak orang sebagai cara kita menghakimi orang lain. Memang benar bahwa firman Tuhan pun dipakai untuk mendidik mereka yang salah kembali ke jalan yang benar. Tapi akhirnya, firman Tuhan menjadi kurang diminati karena isinya hanya penghakiman dan tidak ada sukacita. Padahal Injil itu sendiri berarti Kabar Baik; Kabar Sukacita. Oleh karena itu, penyampaian yang baik sangat dibutuhkan dalam pengajaran akan firman Tuhan. Melalui ayat ini, orang Kristen yang memiliki tugas menyebarkan Injil Kristus, selain bisa dipercaya, ia pun harus memiliki kemampuan public speaking yang baik. Jika pun kita tidak berbakat dalam berbicara di depan banyak orang, paling tidak kita mampu dan berani mengatakan apa yang benar.

Pada ayat 3, Timotius diajak untuk berani menderita sebagai seorang prajurit Kristus yang baik. Mengapa demikian? Inilah teladan pelayanan Kristus. Jika seorang pelayan hanya melakukan tugasnya, itu hanyalah profesionalitas pelayan terhadap tugasnya. Hal yang diminta Paulus kepada Timotius bukan hanya menjadi seorang pelayan dan penginjil profesional, melainkan menjadi pelayan yang totalitas. Bagi saya, profesionalisme adalah hal wajib dalam setiap profesi. Bahkan menurut pandangan saya pada beberapa sinode, pendeta zaman sekarang hampir tidak ada bedanya dengan pembicara seminar. Mereka dibayar setiap kali berbicara. Perbedaannya adalah pada besaran uangnya. Ya, walaupun ada juga pendeta yang harus dibayar besar agar mau berkhotbah atau hanya sekadar menghadiri sebuah ibadah. Ini yang sepertinya harus diperbaiki. Jika pelayan hadir karena tugas yang sudah dibayarkan, apa bedanya dengan pembicara seminar? Artinya, pelayan tersebut seharusnya bukan hanya menjadi profesional karena ia menjalankan profesinya sebagai pelayan, melainkan juga harus total dalam melakukannya. Totalitas di sini salah satunya adalah siap menderita.

Jika ada di antara para pembaca bertanya atau menyanggah pernyataan saya tentang pelayan merupakan profesi, silakan tanya pelayan tersebut, apakah ada angka tetap atau angka minimum agar dia bisa hadir? Jika ada angka tetap atau ditetapkan sebuah angka minimum, ia menjalankan profesi dan bukan melayani. Dalam KBBI, pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Sedangkan salah satu pengertian dari pekerjaan menurut KBBI adalah pencaharian; yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan pendapatan/uang/rezeki/belanja untuk hidup/bekal hidup sehari-hari. Ini pun menjadi tamparan untuk saya karena akhirnya beberapa kali saya hanya menjadi seorang profesional dan bukan pelayan. Namun, berdasarkan pesan Paulus, panggilan menderita bukanlah panggilan menjadi profesional, melainkan panggilan untuk memberi diri secara total.

Dalam ayat 4, Paulus menjelaskan bagaimana seorang prajurit menderita (pada ayat 3), yaitu tidak memedulikan dirinya,  bahkan untuk kebutuhan dirinya, melainkan hanya berfokus pada komandan dan perintahnya. Seperti ini juga, hal yang diharapkan ada dan dimiliki Timotius dan kita yang ingin mengaku diri sebagai prajurit dan laskar Kristus. Mari kita membedakan memandang kepada Kristus dan menggunakan cara pandang Kristus. Kita bukan diminta menggunakan cara pandang Kristus karena kita manusia yang punya batasan, melainkan kita diminta untuk hanya memandang Kristus dan mendengar perintah-Nya, layaknya seorang komandan.

Ayat 5 pun merupakan perumpamaan yang disampaikan untuk menjelaskan bagaimana kita harus bersikap sebagai seorang pelayan yang totaltotal,  yaitu mengikuti aturan. Paulus sering mengibaratkan kehidupan seorang Kristen layaknya pertandingan atau perlombaan, karena Paulus meyakini ada hadiah besar yang akan ia dapat, yaitu mahkota kehidupan yang kita maknai sebagai janji keselamatan. Dan dalam ayat ini, Paulus menekankan bahwa kemenangan sejati adalah kemenangan yang adil. Saya melihat bahwa baginya, tidak ada kemenangan di hadapan Allah dari hasil kecurangan, tidak ada jalan pintas, atau jalan alternatif yang mudah, hanya ada kemenangan yang adil sesuai aturan.

Lalu, ayat 6 membuat kesan pelayan tidak sesuai dalam perumpamaan petani ini. Jika kita diminta menjadi pelayan yang menderita secara total, seharusnya kita tidak memakan sendiri apa yang kita buat. Arah perumpamaannya bukan meminta kita untuk menjadi seorang yang egosentris, melainkan meminta kita kenyang dahulu sebelum berbagi.  Apa bedanya? Apakah artinya kita diminta agar diri kita terpuaskan barulah kita membagikannya kepada orang lain? Tidak dan Iya. Tidak, jika kita mengartikannya dalam pengertian kenyang secara fisik dan pemenuhan kebutuhan jasmani. Akan tetapi, pengertian yang diminta adalah kita harus mencicipi terlebih dahulu makanan rohani kita yaitu pengenalan akan Kristus dan kasih-Nya. Jika kita tidak merasakan terlebih dahulu pengenalan akan Kristus dan cinta-Nya, kita tidak akan mampu menjelaskan apakah makanan rohani yang kita bagikan enak atau tidak. Seorang petani harus tahu kualitas panen yang ia hasilkan sebelum memberikannya pada orang lain. Caranya? Petani harus menjadi orang pertama yang makan hasil panennya. Dengan mengetahui hasil panennya, ia bisa menjelaskan betapa enaknya panen yang ia hasilkan dan yang akan ia bagikan.

Di tengah panggilan untuk menderita, Tuhan tidak akan menutup mata atas apa yang kita rasakan. Melalui ayat 7, Paulus menguatkan Timotius dengan mengatakan bahwa Tuhan sendiri yang akan memberikan pengertian akan segala sesuatu. Jika kita menghubungkan ke ayat 6, Tuhan sendirilah yang mengenyangkan kita dan membantu kita mengenyangkan lapar rohani banyak orang.

Ayat 8 berisi penegasan kembali tentang apa yang sudah Timotius terima. Inilah yang menjadi alasan kenapa Paulus menderita bahkan dipenjara (ayat 9). Jika kita melihat bagaimana Saulus menginginkan kematian pengikut Kristus setelah melihat Stefanus yang dianggap sesat dihukum mati, pengikut agama Yahudi menetapkan bahwa pengikut Kristus adalah bidat bagi mereka. Selain itu, tekanan dari pengikut keyakinan helenistik juga membuat beberapa jemaat terdesak oleh hasutan sesat. Belum lagi kondisi internal dalam jemaat Efesus, di mana Timotius masih muda dan dianggap belum berpengalaman. Akhirnya, panggilan menderita tersebut menjadi nyata karena Timotius sudah, harus, dan akan menghadapi berbagai tantangan ke depannya. Perikop inilah yang menjadi pengingat bagi Timotius untuk bersiap dan menjadi kuat dalam Kristus. Namun, Paulus percaya bahwa meskipun ia terpenjara, firman Allah tidak akan bisa terbelenggu. Surat ini menjadi salah satu cara Paulus membuktikan bahwa firman Allah tidak akan pernah terbelenggu. Saya mengira bahwa mencari suksesor pun adalah cara agar firman Tuhan tidak terbelenggu hanya di dalam hati Timotius saja. Dengan melahirkan penerus, Timotius juga bisa membuktikan bahwa firman Allah terus mengalir dan tidak berhenti pada satu orang saja.

Akhirnya, panggilan untuk menderita adalah panggilan untuk memiliki kesabaran yang tinggi, agar setiap orang memiliki rasa kenyang yang sama, memiliki keselamatan yang sama yang tidak hanya berhenti di Timotius, jemaat Efesus, atau penerusnya saja, melainkan mengalir terus, bahkan sampai bisa kita rasakan saat ini.

Panggilan untuk menderita adalah panggilan pelayanan Kristus melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Namun, pembuktian firman Tuhan adalah melalui kebangkitan-Nya. Kita pun meyakini bahwa kematian kita di dalam Kristus adalah juga kebangkitan bersama-Nya. Paulus pun, pada ayat 12 menegaskan kembali ucapan Yesus dalam Matius 10: 33 berdasarkan penafsiran yang ia pahami, yaitu memiliki untuk bertekun dalam Dia atau menyangkal Dia, beserta dengan janji dan konsekuensinya.

Perikop ini ditutup dengan cantik yaitu bahwa meskipun kita tidak setia, Allah tetap setia karena Ia telah menyatakan diri-Nya untuk setia menanti kita kembali pada-Nya. Dan Ia tidak dapat menyangkal diri-Nya. Mungkin inilah ketidakmampuan Allah, yaitu menyangkal apa yang telah Ia katakan. Oleh karena itu, dalam penulisan di Perjanjian Lama, sering kita temui bahwa Allah menyesal.

Menjadi pelayan Kristus adalah menjadi prajurit yang penuh totalitas, bertanding dalam perlombaan kehidupan dengan adil, menjadi petani yang tahu dulu apa yang ia hasilkan sebelum berbagi, dan akhirnya siap menderita.
Paulus berusaha membuat Timotius yang adalah suksesornya menjadi pelayan yang tangguh dan berharap bisa menemukan pelayan tangguh yang siap menjadi suksesornya. Menjadi pelayan bukan hanya harus menjadi seorang yang profesional, melainkan menjadi seorang yang melayani dengan total dan kuat dalam Kristus untuk menghadapi penderitaan saat kita melayani. Akhirnya, benar apa yang dikatakan salah satu guru saya bahwa memasuki dunia pelayanan adalah memasuki dunia penderitaan.

~ D.A ~

Komentar