Tafsir Iseng Nehemia 5: 1-13

 Nehemia 5: 1-13


Nehemia adalah seorang juru minum raja yang rindu kampung halaman. Dalam perbincangannya tentang Yerusalem, ia sedang berada di Susan, Ibukota dari Kerajaan Persia, yang merupakan penakluk Kerajaan Babel (Nehemia 1). Rindu yang kalau dalam bahasa Batak, bukan lagi disebut sebagai masihol, melainkan tarhirim, rindu yang sudah sangat sulit dibendung lagi. Rindu yang dirasakan Nehemia membuat rasa penasarannya tentang kampung halamannya terbangun. Pertanyaan dari pernyataan ini adalah bagaimana seseorang bisa rindu akan kampung halaman sementara dia belum pernah ke sana, bahkan sudah sekitar 2-3 generasi (kurang lebih 70 tahun), bangsa Yahudi dibuang ke Babel. Artinya generasi pendahulu yang mengenal bahkan sempat tinggal di Yerusalem, sudah meninggal. Jika pun ada, generasi tersebut terdiri dari anak-anak yang mungkin belum tahu apa-apa, yang akhirnya ikut dibuang ke Babel. Hal yang pasti adalah Nehemia tidak pernah ke sana dan hanya mendengar cerita dari pendahulunya yang diwariskan turun-temurun.


Lalu, hal apa yang menjadi pertanyaan Nehemia? Hal yang paling wajar, yaitu kondisi Yerusalem kini. Dan jawaban yang ia terima dari para penyintas adalah kehancuran Yerusalem, baik secara fisik, maupun kerohanian masyarakat di sana. Hal inilah yang membuatnya bersedih dan memohon kepada Tuhan agar raja memberi belasan kasihan dan membantunya. Kesedihannya terbawa sampai saat ia melakukan pekerjaannya sebagai juru minum Raja Artahsasta. 


Saya selalu membayangkan bahwa raja-raja pada masa itu, apalagi raja penakluk daerah, pastinya akan bersikap arogan kepada para tawanan perang atau mereka yang ditaklukkan. Mereka akan menjadi budak atas para penakluk. Namun, berdasarkan teori ini, saya meyakini bahwa Allah memberikan rasa simpati kepada Raja Artahsasta. Harusnya, raja tidak berkewajiban untuk peduli dengan apa yang dirasakan bawahannya, apalagi masyarakat buangan dari mereka yang telah ditaklukkan. Allah hadir dalam simpati Raja Artahsasta. Ini pun terlihat dari ketakutan Nehemia menjawab pertanyaan raja. Dari ketakutan ini, kita bisa menyadari bahwa hal ini tidak perlu diketahui raja. Pada akhirnya, Nehemia bisa menumpahkan kesedihannya (Nehemia 2). 


Setelah itu, Raja pun menanyakan hal yang harus ia lakukan. Sekali lagi, ini hal yang aneh, terutama di masa penaklukan kerajaan. Raja tidak punya kewajiban untuk menanyakan apa yang harus ia lakukan. Bahkan kesedihan seorang hamba tidak perlu menjadi hal yang dipusingkan oleh Raja Penakluk. Lagi-lagi, Allah berperan dalam rasa peduli raja. Nehemia meminta izin untuk membangun kembali Yerusalem dan memohon bantuan raja agar diberikan surat izin melewati daerah-daerah agar sampai ke Yerusalem serta meminta izin membawa kayu dan bahan lain untuk membangun. 


Lalu, apa yang mau diangkat dari Nehemia 5? Nehemia, sebagai pemimpin proyek pembangunan Yerusalem, harus juga memimpin orang Yahudi di sana. Sebagai pemimpin, ia bersedia mendengarkan keluhan orang-orang di bawahnya. Masalah bukan hanya keluhan-keluhan yang diutarakan dalam Pasal 5, sebelumnya pun sudah terjadi masalah, yaitu munculnya orang-orang yang menentang pembangunan. Saat tantangan dari luar proyek sudah terselesaikan, tantangan dari dalam muncul. Kesulitan mendapatkan bahan pangan, pajak yang tinggi bahkan sampai membuat mereka menggadaikan ladang dan kebun anggur mereka, bahkan demi mendapatkan makanan dan yang, anak-anak mereka diperbudak oleh saudara mereka sesama bangsa Yahudi. Hal ini membuat Nehemia marah. 


Hal yang unik dari kemarahan Nehemia adalah Nehemia tidak menumpahkannya dengan mencaci atau menghukum. Nehemia berpikir matang-matang untuk menggugat mereka dan menang. Akhirnya, Nehemia mengadakan sidang jemaat yang besar, sehingga mereka disidang secara adil dan terbuka. Saya pikir hal ini dilakukan agar mereka tidak bisa berkelit, dan memberi pelajaran bukan hanya kepada mereka yang tergugat, melainkan juga para penguasa daerah dan para pemuka di sana. 


Mereka yang tergugat memilih untuk mengembalikan apa yang telah mereka ambil. Nehemia tidak begitu saja percaya apa yang mereka yakinkan. Agar Nehemia dan semua orang yakin akan apa yang mereka katakan, Nehemia meminta para imam membantu mereka mengambil sumpah untuk menepati perkataan mereka. 


Dan di akhir perikop, Nehemia mengucapkan pernyataannya. Saya tidak bisa menamainya dengan benar, apakah ini pesan, perintah, doa, sumpah, atau nubuatan Nehemia. Akan tetapi, semua orang saat itu mengaminkannya, lalu memuji Tuhan. Dan semuanya berakhir baik dalam perikop tersebut. 


Namun, mari kita telaah sedikit tentang pernyataan Nehemia ini. Seberapa seringkah kita melanggar janji kita? Pertanyaan ini seharusnya membuat kita sadar. Janji, sumpah, dan nazar, terkadang dengan mudah keluar dari mulut kita tanpa kita tahu bahwa hal tersebut adalah ikatan hutang yang harus ditepati. Jika kita merasa takut, tidak nyaman, atau gelisah karena kita tidak menepati janji kepada sesama, apalagi saat kita berjanji kepada Tuhan, seharusnya rasa takut itu lebih besar. Belum lagi jika kita membaca apa yang dikatakan Nehemia, bagaimana Tuhan meninggalkan kita saat kita melanggar janji kita. Kita akan menjadi hampa. 


Dari perikop ini, kita belajar bagaimana Nehemia sebagai pemimpin proyek pembangunan, mendengar pergumulan orang Yahudi. Hamba Tuhan saja siap mendengarkan keluh kesah orang lain, terlebih Tuhan. Melalui Nehemia, Tuhan menolong orang Yahudi yang kesusahan di tengah masa krisis dan kelaparan. Walaupun Allah Maha Tahu, tetaplah perdengarkan permohonan kita pada-Nya. Allah pun ingin melihat usaha kita, seberapa pantaskah kita mendapatkannya, sebesar apa pengorbanan kita, dan sepenting apa hal tersebut untuk kita. Bergumul adalah cara seseorang belajar dan berkembang dalam kehidupannya. Namun, ada juga yang tenggelam dalam pergumulan, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, berpikir buruk, dan akhirnya melakukan tindakan yang buruk juga. 


Sebagai ciptaan, mari berpasrah kepada Sang Pencipta, karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Kita tidak punya pilihan lain selain bersandar kepada Allah. Sebagai manusia, mari menyampaikan pergumulan kita kepada Sang Pemberi. Layaknya guru yang memberikan soal kepada muridnya, mari kita meminta penjelasan dan bantuan solusi agar kita dimudahkan dalam menjawab soal. 


Sebagai Hamba Tuhan, mari belajar mendengar seperti Nehemia. Mari belajar untuk mengelola kemarahan kita dengan bijak. Dengan berpikir masak-masak sebelum bertindak, kita bisa menghindari perdebatan dan pertikaian yang tidak perlu, sehingga solusi bisa diterima oleh semua pihak. Dan akhirnya, kita pun lebih dihargai sebagai hamba Tuhan, dan jadi cerminan Kristus bagi seluruh jemaat. 


~ D . A ~

Komentar